Islam adalah agama yang mudah dan longgar,
bukan agama yang sulit dan sempit. Demikianlah penegasan Rashid Ridla
sebagaimana tertuang dalam kitabnya Yusrul Islam wa Ushul at-Tasyri’
al-‘Am (Kemudahan Islam dan Dasar-Dasar Legislasi Umum Hukum Islam)
hanya saja kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek
suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa
terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian
memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Multikulturalisme adalah konsep yang mampu
menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan
sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang
mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan
masyarakat.
Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan
jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan
kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan
itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem
nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan
sosial.
Semakin kita sadar akan hakikat
multikuluralisme, potensi-potensi konflik yang bertunas dari dasar perbedaan
mungkin dapat kita babat sebelum tumbuh, dalam hal ini tak layak rasanya kita
hanya memaknai perbedaan sebagai suatu beban yang hidup di masyarakat kita.
Sudah selayaknya sebagai makhluk sosial menyikapi segala masalah yang tercipta
di masyarakat dengan metode-metode yang berkiblat pada musyawarah.
Masyarakat sebagai manusia dan komunitas
terbesar dalam skup negara memiliki berbagai kebutuhan hidup. Dualisme
kebutuhan ini secara substantif antara lain kebutuhan jasmani dan ruhani.
Kebutuhan jasmani antara lain makan, minum, tidur dan lain-lain. Sedangkan
kebutuhan ruhani seperti dicintai, rasa aman dan lain-lain.
Menilik lebih jauh tentang kebutuhan ruhani,
mari kita kerucutkan kepada rasa aman, tidak ada satu manusiapun yang ingin
hidup dalam keresahan, tidak ada satu manusiapun yang ingin hidup dengan
konflik dalam lingkungnannya. Terlepas dari pembaca sepakat atau tidak, toh
banyak dari masyarakat kita yang terkena bencana mengungsi ketempat yang lebih
aman apabila sekitar lingkungannya sudah tak kondusif lagi. Indikasi ini
menunjukkan bahwa rasa aman amat sangat dibutuhkan manusia. Bahkan ketika
manusia berada dalam salah satu kondisi yang hendak merenggut rasa aman yang
dirasakaannya bukan tidak mungkin rasa aman itu akan dipilih ketimbang harta
benda.
Rasa aman akan tercipta apabila hakikat
multikulturalisme terdokin dengan mantap di lingkungan masyarakat, segala
sesuatu yang berakar dari perbedaan bila dikawinkan dengan multikulturalisme
akan melahirkan anak dari toleransi antar masyarakat. Hal ini telah termkatub
menjadi salah satu kalimat yang mampang di lambang negara kita “bhinneka
tunggal ika” yang kemudian sering dipanggil dengan semboyan negara ini serta
masing-masing individu ataupun kelompok mampu megurung hawa nafsu yang
bersemayam dalam dirinya, dengan demikian situasi-situasi yang tidak
diharapkan oleh sebagian besar masyarakat kita tidak akan menguak dan
menimbulkan biang-biang keresahan. Hanya saja memang selalu ada al-nafs
al lawwamah yang mempelesetkan situasi dan kondisi untuk memperkeruh
suasana dengan tujuan tertentu.
Sedikit bergeser ke arah ideologis, meminjam
rangkaian kalimat dari gus dur, hawa nafsu adalah suatu kekuatan yang menyipan
potensi destruktif dan membuat jiwa selalu resah, gelisah dan tidak pernah
tenang. Para ulama kerap membandingkan hawa nafsu dengan binatang liar.
Siapapun yang telah menjinakkan hawa nafsunya dia akan tenang dan mampu
menggunakan nafsunya untuk melakukan aktifitas atau mencapai tujuan-tujuan
luhur. Sebaliknya, siapapun yang masih dikuasai hawa nafsunya dia akan selalu
gelisah dan ditunggangi hawa nafsunya, dia membahayakan dirinya dan orang lain.
Dari perspektif ini ada dua kategori manusia.
Pertama, orang-orang yang sudah mampu menjinakkan hawa nafsunya sehingga bisa
memberi manfaat kepada siapapun. Mereka adalah pribadi yang tenang dan
damai (al-nafs al-muthmainnah) dan menjadi representasi
kehadiran spiritualitas, khalifah Allah yang sebenarnya (dalam konteksMahabharata,
para pandawa).
Kedua, mereka yang masih dikuasai hawa nafsu
sehingga selalu menjadi biang keresahan dan masalah bagi siapapun. Mereka
adalah pribadi-pribadi gelisah dan menjadi biang kegelisahan sosial dan pembuat
masalah. (al-nafs al lawwamah) dan menjadi representasi
kehadiran hawa nafsu (dalam konteks Mahabharata, para kurawa). Kedua kelompok
ini berbagai tingkat realitas dan interaksi sosial dengan intensitas yang
beragam. Dari tingkat lokal, nasional hingga internasional. Dalam bidang
pendidikan dan agama hingga bisnis dan politik dalam urusan pribadi hingga
kelompok.
Terlepas dari hal diatas, tulisan ini hanya
ingin mengajak kepada pembaca untuk dapat menerima apa yang dimiliki orang
lain. Baik itu kelebihan, kekurangan dan perbedaannya. Perbedaan mirip dengan
uang receh, nggak rugi kalau kita punya banyak, serta punya
dua sisi yang berbeda tergantung dari sisi mana kita memandangnya.
Mungkin selayaknyalah ada sedikit ruang untuk
multikulturalime di masyarakat kita agar (maaf beribu-ribu maaf) luka lama yang
sudah mengering tidak terbuka kembali, terlepas dari berbagai macam kepentingan
yang menguak dan menjadi issu publik memang tidak elok bila kita kesampingkan
begitu saja, untuk sekarang Kalimantan Barat butuh rasa aman.