hanya sekedar coretan di layar desktopmu

Monday 4 April 2016

pentingkah multikulturalisme???

21:10:00 Posted by fathur alrahman
Islam adalah agama yang mudah dan longgar, bukan agama yang sulit dan sempit. Demikianlah penegasan Rashid Ridla sebagaimana tertuang dalam kitabnya Yusrul Islam wa Ushul at-Tasyri’ al-‘Am (Kemudahan Islam dan Dasar-Dasar Legislasi Umum Hukum Islam) hanya saja kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Semakin kita sadar akan hakikat multikuluralisme, potensi-potensi konflik yang bertunas dari dasar perbedaan mungkin dapat kita babat sebelum tumbuh, dalam hal ini tak layak rasanya kita hanya memaknai perbedaan sebagai suatu beban yang hidup di masyarakat kita. Sudah selayaknya sebagai makhluk sosial menyikapi segala masalah yang tercipta di masyarakat dengan metode-metode yang berkiblat pada musyawarah.
Masyarakat sebagai manusia dan komunitas terbesar dalam skup negara memiliki berbagai kebutuhan hidup. Dualisme kebutuhan ini secara substantif  antara lain kebutuhan jasmani dan ruhani. Kebutuhan jasmani antara lain makan, minum, tidur dan lain-lain. Sedangkan kebutuhan ruhani seperti dicintai, rasa aman dan lain-lain.
Menilik lebih jauh tentang kebutuhan ruhani, mari kita kerucutkan kepada rasa aman, tidak ada satu manusiapun yang ingin hidup dalam keresahan, tidak ada satu manusiapun yang ingin hidup dengan konflik dalam lingkungnannya. Terlepas dari pembaca sepakat atau tidak, toh banyak dari masyarakat kita yang terkena bencana mengungsi ketempat yang lebih aman apabila sekitar lingkungannya sudah tak kondusif lagi. Indikasi ini menunjukkan bahwa rasa aman amat sangat dibutuhkan manusia. Bahkan ketika manusia berada dalam salah satu kondisi yang hendak merenggut rasa aman yang dirasakaannya bukan tidak mungkin rasa aman itu akan dipilih ketimbang harta benda.
Rasa aman akan tercipta apabila hakikat multikulturalisme terdokin dengan mantap di lingkungan masyarakat, segala sesuatu yang berakar dari perbedaan bila dikawinkan dengan multikulturalisme akan melahirkan anak dari toleransi antar masyarakat. Hal ini telah termkatub menjadi salah satu kalimat yang mampang di lambang negara kita “bhinneka tunggal ika” yang kemudian sering dipanggil dengan semboyan negara ini serta masing-masing individu ataupun kelompok mampu megurung hawa nafsu yang bersemayam dalam dirinya, dengan demikian situasi-situasi  yang tidak diharapkan oleh sebagian besar masyarakat kita tidak akan menguak dan menimbulkan biang-biang keresahan. Hanya saja memang selalu ada al-nafs al lawwamah yang mempelesetkan situasi dan kondisi untuk memperkeruh suasana dengan tujuan tertentu.
Sedikit bergeser ke arah ideologis, meminjam rangkaian kalimat dari gus dur, hawa nafsu adalah suatu kekuatan yang menyipan potensi destruktif dan membuat jiwa selalu resah, gelisah dan tidak pernah tenang. Para ulama kerap membandingkan hawa nafsu dengan binatang liar. Siapapun yang telah menjinakkan hawa nafsunya dia akan tenang dan mampu menggunakan nafsunya untuk melakukan aktifitas atau mencapai tujuan-tujuan luhur. Sebaliknya, siapapun yang masih dikuasai hawa nafsunya dia akan selalu gelisah dan ditunggangi hawa nafsunya, dia membahayakan dirinya dan orang lain.
Dari perspektif ini ada dua kategori manusia. Pertama, orang-orang yang sudah mampu menjinakkan hawa nafsunya sehingga bisa memberi manfaat kepada siapapun. Mereka adalah pribadi yang tenang  dan damai (al-nafs al-muthmainnah) dan menjadi representasi kehadiran spiritualitas, khalifah Allah yang sebenarnya (dalam konteksMahabharata, para pandawa).
Kedua, mereka yang masih dikuasai hawa nafsu sehingga selalu menjadi biang keresahan dan masalah bagi siapapun. Mereka adalah pribadi-pribadi gelisah dan menjadi biang kegelisahan sosial dan pembuat masalah. (al-nafs al lawwamah) dan menjadi representasi kehadiran hawa nafsu (dalam konteks Mahabharata, para kurawa). Kedua kelompok ini berbagai tingkat realitas dan interaksi sosial dengan intensitas yang beragam. Dari tingkat lokal, nasional hingga internasional. Dalam bidang pendidikan dan agama hingga bisnis dan politik dalam urusan pribadi hingga kelompok.
Terlepas dari hal diatas, tulisan ini hanya ingin mengajak kepada pembaca untuk dapat menerima apa yang dimiliki orang lain. Baik itu kelebihan, kekurangan dan perbedaannya. Perbedaan mirip dengan uang receh, nggak rugi kalau kita punya banyak, serta punya dua sisi yang berbeda tergantung dari sisi mana kita memandangnya.
Mungkin selayaknyalah ada sedikit ruang untuk multikulturalime di masyarakat kita agar (maaf beribu-ribu maaf) luka lama yang sudah mengering tidak terbuka kembali, terlepas dari berbagai macam kepentingan yang menguak dan menjadi issu publik memang tidak elok bila kita kesampingkan begitu saja, untuk sekarang Kalimantan Barat butuh rasa aman.