hanya sekedar coretan di layar desktopmu

Monday 4 April 2016

guru dan dilemanya

21:16:00 Posted by fathur alrahman

Debat dan diskusi tentang pendidikan Indonesia tak pernah berhenti. Dari mulai falsafah, konsep dasar, tujuan, kurikulum, tata laksana, sarana, hingga pembiayaan, kajian pendidikan negeri ini selalu menghadirkan isu-isu hangat, permasalahan baru, yang terus bertumpuk dan tak pernah selesai. Di atas tataran meja debat dan diskusi, isu pendidikan terus dibahas, formula-formula baru yang menurut sebagian ahli akan mengurai benang kusut pendidikan terus “diujicobakan”. Sementara dunia pendidikan terbaring di meja operasi, anak-anak kita tak pernah berhenti bertumbuh dengan sistem pendidikan yang telah lama berurat akar terbukti tidak membangun karakter anak negeri, tetapi menenggelamkan sebagian besar generasi penerus dalam kerusakan karakter. Sebagian kecil golongan elit pintar dan dipintarkan oleh sistem, kesempatan dan kekerabatan yang kepintarannya semakin membumbung di awan, menghasilkan ilmu yang tidak membumi. cemerlang secara teori tetapi nihil penerapan di dunia nyata. Sebagian besar lain terus dibodohkan oleh sistem dan malah menjadi beban di usia produktifnya.
Berbagai masalah yang timbul di dunia pendidikan seperti kekerasan di institusi pendidikan serta tawuan antar pelajar menjadi salah satu kisah tragisnya dunia pendidikan di Indonesia, adap pula yang menjurus ke arah penodaan karakter pendidikan sebagai wadah untuk memanusiakan manusia seperti video porno yang pemerannya adalah pelajar seperti menambah kelabu wajah pendidikan kita. Sedikit menyinggung tentang ujian nasional yang baru saja digelar memang bukan menjadi rahasia umum lagi aksi contek mencontek yang dilakukan peserta ujian. Dengan berbagai trik dan metode digunakan peserta agar bisa menjawab sebundelan kertas berisi pertanyaan yang sedikit banyak menentukan masa depan mereka. Begitu juga dengan kementerian pendidikan kita, berbagai cara telah ditempuh untuk melenyapkan budaya mencontek itu, mulai dari penomoran soal genap dan ganjil, mengacak posisi soal antar genap dan ganjil dan lain-lain, tapi semua itu tidak menjadi penghalang semakin merekahnya budaya mencontek ketika ujian berlangsung.
Apakah ini salah satu human error dari seorang guru ataukah memang wajah pendidikan di Indonesia tidak bisa terlepas dari kemelut-kemelut seperti yang penulis sebutkan di atas? Guru sebagai publik figur harus tetap teruji kemampuannya, karena di saat tergelincir kepada suatu kesalahan hebohnya seantero jagat, tetapi apabila seorang guru melakukan suatu prestasi masyarakat luas mengatakan pantas saja beliau adalah seorang guru. Fenomena inilah yang terkadang tidak disadari oleh kalangan seorang tua dan masyarakat bahwa penghargaan kepada seorang guru sebatas maklum. Penghargaannya kepada guru jauh lebih rendah dibandingkan dengan seorang pengusaha yang sukses yang notabene mempunyai kapital mereka memiliki pengaruh bagi masyarakat sekitar.
Tanggal 2 Mei, mengerucutkan fikiran kita tentang hari lairnya bapak pendidikan Ki Hajar Dewantoro yang telah kita sepakati bersama sebagai sebagai hari pendidikan nasional. Beliau berujar pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran intellect dan jasmani anak didik. Kalau boleh penulis tambahkan Tanpa sesosok guru, akan sangat mustahil cita-cita besar itu terwujud. Pertanyaan besar dan selalu menerawang di alam fikiran adalah kepada siapakah gelar “tanpa tanda jasa” disematkan hari ini? Bukankah gelar itu disematkan kepada sesosok guru sejak zaman datok adam dahulu? Tetapi kenyataannya berbeda sekarang. Anugerah seperti itu hanya layak disematkan kepada guru-guru zaman dahulu dan kepada guru “oemar bakri”.
Tak bisa dipungkiri lagi guru sebagai tonggak utama dalam sebuah proses pendidikan, peran guru dalam isntitusi pendidikan tak akan pernah bisa terbantahkan. Tetapi tetap saja “pahlawan tanpa tanda jasa” ini tak jarang dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan instansi terkait. Bukan rahasia umum lagi bahwa kesejahteraan guru di Indonesia selalu menjadi kritik terhadap instansi terkait.
Ketika ada pertanyaan bagaimana guru menyikapi perkembangan teknologi? Jawabannya adalah sama dengan apa yang guru sarankan kepada muridnya. Andaikan siswa bertanya kepada guru dan pertanyaan itu tidak dapat dijawab dan akhirnya di PR-kan kepada muridnya, suatu saat murid akan menjadi bumerang bagi guru. Saran guru kepada muridnya akan berbalik menjadi saran yang ditujukan untuk guru, semoga tidak terjadi pada seorang cendikiawan yang profesional.
Wajar saja fenomena-fenomena “guru kota” semakin menggeliat akhir-akhir ini, dikarenakan pertimbangan-pertimbangan tentang kesejahteraan, fasilitas dan media penunjang untuk pembelajaran amat sangat kurang di areal jajahan ‘guru pelosok” dalam hal ini penulis pikir tidak melulu menjadi tanggung jawab bagi institusi pendidikan untuk membenahi pemerataan pendidikan di daerah, tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak yang berada dalam skup Negara untuk mewujudkan pendidikan yang layak bagi sekolah pegunungan dan sekolah-sekolah pesisir.
Semoga adik-adik penulis dikemudian hari tidak hanya duduk di meja kuliah keguruan hanya demi formalitas belaka tanpa disertai dengan keikhlasan dan tekad yang kuat untuk menjadi guru-guru yang motivatif dan inovatif, agar semangat juang untuk mencerdaskan kehidupan banga tidak hanya termaktub dalam teks Undang-Undang Dasar 1945 belaka, tetapi menjadi realitas kekinian pada kehidupan masyarakat dewasa ini. Juga kepada rekan, teman dan sahabat penulis yang tak lama lagi akan mendapat gelar sarjananya agar (seandainya istiqomah di jalan yang telah dipilih) menjadi sesosok “oemar bakri” baru di dunia pendidikan kita, agar kita dapatkan kembali gelar “pahlawan tanda jasa” yang minggat entah kemana, agar kita tidak hanya menjadi generasi perak ataupun perunggu di negeri ini.