Berbagai masalah yang timbul
di dunia pendidikan seperti kekerasan di institusi pendidikan serta tawuan
antar pelajar menjadi salah satu kisah tragisnya dunia pendidikan di Indonesia,
adap pula yang menjurus ke arah penodaan karakter pendidikan sebagai wadah
untuk memanusiakan manusia seperti video porno yang pemerannya adalah pelajar
seperti menambah kelabu wajah pendidikan kita. Sedikit menyinggung tentang
ujian nasional yang baru saja digelar memang bukan menjadi rahasia umum lagi
aksi contek mencontek yang dilakukan peserta ujian. Dengan berbagai trik dan
metode digunakan peserta agar bisa menjawab sebundelan kertas berisi pertanyaan
yang sedikit banyak menentukan masa depan mereka. Begitu juga dengan
kementerian pendidikan kita, berbagai cara telah ditempuh untuk melenyapkan
budaya mencontek itu, mulai dari penomoran soal genap dan ganjil, mengacak
posisi soal antar genap dan ganjil dan lain-lain, tapi semua itu tidak menjadi
penghalang semakin merekahnya budaya mencontek ketika ujian berlangsung.
Apakah ini salah satu human
error dari seorang guru
ataukah memang wajah pendidikan di Indonesia tidak bisa terlepas dari
kemelut-kemelut seperti yang penulis sebutkan di atas? Guru sebagai publik
figur harus tetap teruji kemampuannya, karena di saat tergelincir kepada suatu
kesalahan hebohnya seantero jagat, tetapi apabila seorang guru melakukan suatu
prestasi masyarakat luas mengatakan pantas saja beliau adalah seorang guru. Fenomena
inilah yang terkadang tidak disadari oleh kalangan seorang tua dan masyarakat
bahwa penghargaan kepada seorang guru sebatas maklum. Penghargaannya kepada
guru jauh lebih rendah dibandingkan dengan seorang pengusaha yang sukses yang
notabene mempunyai kapital mereka memiliki pengaruh bagi masyarakat sekitar.
Tanggal 2 Mei, mengerucutkan
fikiran kita tentang hari lairnya bapak pendidikan Ki Hajar Dewantoro yang
telah kita sepakati bersama sebagai sebagai hari pendidikan nasional. Beliau
berujar pendidikan
adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, kekuatan batin, karakter,
pikiran intellect dan jasmani anak didik. Kalau boleh penulis tambahkan Tanpa sesosok guru, akan
sangat mustahil cita-cita besar itu terwujud. Pertanyaan besar dan selalu
menerawang di alam fikiran adalah kepada siapakah gelar “tanpa tanda jasa”
disematkan hari ini? Bukankah gelar itu disematkan kepada sesosok guru sejak
zaman datok adam dahulu? Tetapi kenyataannya berbeda sekarang. Anugerah seperti
itu hanya layak disematkan kepada guru-guru zaman dahulu dan kepada guru “oemar
bakri”.
Tak bisa dipungkiri lagi guru
sebagai tonggak utama dalam sebuah proses pendidikan, peran guru dalam
isntitusi pendidikan tak akan pernah bisa terbantahkan. Tetapi tetap saja
“pahlawan tanpa tanda jasa” ini tak jarang dipandang sebelah mata oleh
pemerintah dan instansi terkait. Bukan rahasia umum lagi bahwa kesejahteraan
guru di Indonesia selalu menjadi kritik terhadap instansi terkait.
Ketika ada pertanyaan
bagaimana guru menyikapi perkembangan teknologi? Jawabannya adalah sama dengan
apa yang guru sarankan kepada muridnya. Andaikan siswa bertanya kepada guru dan
pertanyaan itu tidak dapat dijawab dan akhirnya di PR-kan kepada muridnya,
suatu saat murid akan menjadi bumerang bagi guru. Saran guru kepada muridnya
akan berbalik menjadi saran yang ditujukan untuk guru, semoga tidak terjadi
pada seorang cendikiawan yang profesional.
Wajar saja fenomena-fenomena
“guru kota” semakin menggeliat akhir-akhir ini, dikarenakan
pertimbangan-pertimbangan tentang kesejahteraan, fasilitas dan media penunjang
untuk pembelajaran amat sangat kurang di areal jajahan ‘guru pelosok” dalam hal
ini penulis pikir tidak melulu menjadi tanggung jawab bagi institusi pendidikan
untuk membenahi pemerataan pendidikan di daerah, tetapi menjadi tanggung jawab
semua pihak yang berada dalam skup Negara untuk mewujudkan pendidikan yang
layak bagi sekolah pegunungan dan sekolah-sekolah pesisir.
Semoga adik-adik penulis
dikemudian hari tidak hanya duduk di meja kuliah keguruan hanya demi formalitas
belaka tanpa disertai dengan keikhlasan dan tekad yang kuat untuk menjadi
guru-guru yang motivatif dan inovatif, agar semangat juang untuk mencerdaskan
kehidupan banga tidak hanya termaktub dalam teks Undang-Undang Dasar 1945
belaka, tetapi menjadi realitas kekinian pada kehidupan masyarakat dewasa ini.
Juga kepada rekan, teman dan sahabat penulis yang tak lama lagi akan mendapat
gelar sarjananya agar (seandainya istiqomah di jalan yang telah dipilih)
menjadi sesosok “oemar bakri” baru di dunia pendidikan kita, agar kita dapatkan
kembali gelar “pahlawan tanda jasa” yang minggat entah kemana, agar kita tidak
hanya menjadi generasi perak ataupun perunggu di negeri ini.