hanya sekedar coretan di layar desktopmu

Tuesday 26 April 2016

independensi. masihkah???

16:55:00 Posted by fathur alrahman
Sebagai masyarakat menengah (midle class), mahasiswa tentu mempunyai daya tarik tersendiri. Mahasiswa bisa turun ke low class (baca: akar rumput) , dan juga memiliki pengaruh pada hight class (baca: arus atas). Karena posisinya di tengah-tengah ini pula, mahasiswa terkadang terjebak ke dalam sebuah pragmatisme. Mahasiswa cenderung memilih jalan ke atas, bukan ke bawah. Karena di atas lebih menjamin kehidupan masa depannya.
 
Berkaca pada hal di atas, yang menjadi underbow mahasiswa hingga menempati posisi yang sangat strategis antar arus atas dan akar rumput adalah independensi. independensi lah yang menjadi jembatan mahasiswa untuk
menjebatani antar dua arus di atas. akan berbeda bila independensi sudah bukan menjadi ghiroh kejuangan, sudah bukan lagi menjadi ruh, dan sudah bukan lagi menjadi pijakan mahasiswa maka moral force (kontrol sosial) yang selama ini melekat pada pelajar beralmamater itu sudah selayaknya ditanggalkan.
 
Hal yang menghantui alam pikir penulis hingga tulisan ini dibuat karena sebuah pertanyaan kecil. APAKAH MAHASISWA MASIH INDEPENDEN? Mengingat saat ini juga telah banyak mahasiswa yang terjun dalam dunia politik praktis. Menjadi simpatisan adalah hak setiap orang, termasuk mahasiswa. Mendukung partai tertentu juga menjadi hak setiap orang, juga mahasiswa. Tapi, bolehkah seorang mahasiswa menjadi kader di dalamnya? Bergerak dalam tataran politik praktis? Bukankah gerakan moral yang menjadi wadah gerakan ataupun organisasi mahasiswa  ditentukan oleh independensinya. Kalau mahasiswa sudah berada dalam lingkaran politik praktis, dalam hal ini berafiliasi (penghubungan) pada partai poltik berarti mahasiswa sudah tidak independen lagi. Kalau begitu jelas bukan sebagai kekuatan moral lagi.
 
Di sisi lain, organisasi mahasiswa semacam HMI, GMNI, PMII, IMM, KAMMI, FMN dan lain lain mempunyai banyak kader dan anggota. Hal ini cukup riskan menjelang 9 Juli. Mahasiswa sebagai pemilih pemula mempunyai pengaruh signifikan untuk menambah suara pemenangan Presiden. Hampir 30% suara pemilih pemula ikut andil dalam ritual 5 tahunan sekali yang kebetulan jatuh tempo pada 9 Juli mendatang.
 
Sejatinya, Peran mahasiswa masih dibutuhkan oleh masyarakat. Tapi bagaimana kalau mahasiswa sudah tidak menjunjung independensinya lagi. Mungkinkah terdapat penyikapan yang berbeda terhadap independensi yang ada? Jangan-jangan tiap mahasiswa punya definisi independensi sendiri-sendiri?
 
Klimaksnya, tugas mahasiswa sebagai agent of change dan social control yang menjadi jargon sakral tidak akan pernah berguna bila ia tidak bersinggungan dengan Independensi. jangan pertanyakan masih perlukah independensi di tengah budaya hedonis dan prakmatis para mahasiswa dewasa ini. dan jangan tujukkan independensi semu karena sudah seyoganya gerakan mahasiswa harus bisa menjaga independensi gerakannya untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Mahasiswa dalam pergerakannya haruslah tetap murni dan tidak terkotori.

Kongres HMI untuk Harapan Masyarakat Indonesia

16:47:00 Posted by fathur alrahman
Jika kita menganalogikan organisasi sebagai miniatur sebuah Negara, sudah pasti tidak dapat lepas dari sebuah gawai demokrasi. Bila di Negara tercinta kita, pesta demokrasi dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali maka pesta demokrasi di HMI dilaksanakan setiap 2 (dua) tahun sekali. Agenda kongres yang direncanakan dibuka secara langsung oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 22 November di kota Pekanbaru Riau ini merupakan agenda besar organisasi, selain sebagai agenda permusyawaratan untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan di HMI juga klimaks dari kongres adalah merumuskan formulasi-formulasi baru untuk menjawab tantangan kekinian yang dihadapi bangsa.
Pasca Kongres/Muktamar Muhammadiyah mengkonstruksi konsepsi kemajuan dan NU mengutarakan distribusi konsepsi terhadap islam nusantara pada tahun 2015 ini, tibalah saat untuk HMI memberikan konstribusi dan konsepsi terhadap kemajuan islam nusantara melalui forum kongres. HMI sebagai anak kandung umat islam dan juga sebagai integral dari keluarga besar bangsa harus memposisikan diri sebagai kawah candradimuka. Indonesia membutuhkan inovasi di berbagai bidang, sehingga mampu menjadi bangsa yang lebih maju dan lebih baik.
Arena kongres menjadi langkah untuk introspeksi pada bagian-bagian internal HMI secara menyeluruh, dinamisasi di dalam tubuh HMI kiranya dapat diterjemahkan dalam konteks kekinian sehingga wacana-wacana yang membiaskan tidak lagi menjadi penjebak, terlebih lagi di nina bobokan nostalgia kebesaran sejarahnya masa lalu. Akan berbahaya bila HMI semakin pulas tertidur, indikasi ini dibuktikan dengan gerakan HMI relatif tidak terlihat dan (walaupun ada) cenderung sendiri-sendiri.
Dari ribuan kader dan anggota yang datang bertamu ke kota Pekanbaru, tentu dengan muatan ribuan ide, ribuan gagasan, dan dengan ribuan kepentingan pula, dari sekian banyak ribuan-ribuan itu bukan perkara sukar untuk merumuskan gerakan-gerakan pembaharuan untuk HMI, namun bila dengan ribuan gagasan yang gentayangan di arena kongres tidak didukung mediasi, konkritifitas, dan transparansi, maka misi-misi perubahan yang dibawa masing-maing kader dan anggota jauh-jauh dari daerah asalnya akan menguap sia-sia.
Kota Pekanbaru, Riau yang mendapat kehormatan menjadi tuan rumah kongres ke dua kalinya (setelah 1992) akan menjadi pusat perhatian dari sebagian besar kader, anggota, dan juga alumni HMI di seluruh nusantara, berangkat dari hal itulah kota Pekanbaru dituntut kesiapannya untuk memfasilitasi sebuah organisasi perkaderan dengan jumlah kader dan anggota dari seluruh nusantara, dengan ribuan kader HMI yang datang bertamu semoga saja masa-masa kelam dinamika kongres sebelumnya tidak terulang kembali, namun jika skenario yang penulis sebutkan kembali terulang di Pekanbaru, dapat dipastikan distorsi intelektual dan kesadaran kader tentang “saling memiliki” terhadap HMI telah jatuh ke titik nadir.
Otokritik dalam kondisi bagaimanapun dan situasi apapun menjadi penting dilakukan oleh HMI, dengan otokritik hijab-hijab yang membatasi HMI memandang noda-noda dan aib diri sendiri semakin jelas, menerangkan kondisi sebenarnya dari HMI dalam posisi dan situasi yang sebenarnya sedang dihadapi apakah solid ataukah semakin rapuh. Ketika semuanya semakin jelas, kebijakan-kebijakan strategis yang perumusannya dituntut membutuhkan kajian kekinian akan semakin mantap untuk ditapaki, karena sebelum mulai melangkah pada komunitas yang lebih besar (masyarakat Indonesia), restorasi HMI harus dimulai sedari diri sendiri.
Lagi dan lagi, kongres ini seharusnya tidak hanya memberi harapan baru bagi komunitas keluarga besar HMI tetapi juga bagi kita semua rakyat Indonesia. Semoga kongres ini mengembalikan HMI (Harapan Masyarakat Indonesia) versi Jenderal Sudirman pada track yang seharusnya. Harapan ini menjadi absolut bila kita mematrikan dalam hati masing-masing bahwa Lafran Pane dan kawan-kawan membidani HMI bukan untuk menjadi milik seseorang atau sekelompok orang, melainkan menjadi aset berharga untuk bangsa Indonesia.
Selamat berkongres, selamat berdinamika untuk sahabat-sahabat HMI se tanah air, semoga dapat melahirkan gagasan-gagasan yang mampu menempatkan HMI menjadi wadah perubahan bagi bangsa ini, mewujudkan HMI yang dinamis dan tetap mengambil peran dalam pembangunan bangsa, melahirkan imam yang bertanggung jawab serta total dalam melaksanakan tugas-tugas kelembagaan di HMI, mengghidupkan kembali dinamika gerakan yang hari ini relatif meredup, menjadikan silaturahim sebagai lahan strategis merumuskan solusi dari permasalahan di areal jajahan masing-masing, dan menciptakan suasana konsolidasi dengan semangat kekeluargaan. Jayalah HMI, jayalah bangsa. Allahuakbar . . . . . . . . . . . . . . .

Monday 25 April 2016

perangi lag androidmu dengan Seeder

19:41:00 Posted by fathur alrahman
seeder adalah sebuah aplikasi android yang paling banyak digunakan untuk memerangi lemot. entropy generator ini akan menjaga entropy pool dengan terus melakukan pembaruan random data (entropy).

Seeder membutuhkan akses ke sistem, jadi untuk menggunakan aplikasi ini android anda harus sudah dalam keadaan root. untuk tutorial root semua jenis android, silahkan anda browsing di mbah gugel.



setelah anda download (link download ada di bawah postingan ini) pastikan anda centang unknown source pada perangkat android anda. caranya: setting (setelan atau pengaturan) security (keamanan) di bahwah device administration (administrator perangkat) centang saja sumber tidak dikenal (unknown source) lalu pasang hingga selesai.


Setelah berhasil terpasang, pada enable seeder lag reduction rubah jadi ON. lalu centang semua seeder configuration seperti gambar di atas.
pada PING service performance profile pilih sendiri settingan yang menurut anda cocok. saran saya light untuk pemakaian sehari-hari dan agressive untuk bermain game HD. reboot.

semoga berhasil.

download seeder

Monday 18 April 2016

MAHAsiswa dan pertanyaan “MAHA” yang belum terjawab

15:51:00 Posted by fathur alrahman
Akan ada senyum menyeringai disaat pembaca sekalian mengintip sedikit redaksi dari kanda Sulastomo. Dalam bukunya “(Bukan) Negeri Sampah” yang ditulis beliau kurang lebih 12 tahun lalu, ada satu halaman khusus yang memang sengaja disiapkan untuk redaksi yang penulis kira menantang anak muda (khususnya mahasiswa) untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu di sanubarinya yang paling dalam. Dengan efek yang sedemikian, penulis kira itu layak. Seyogyanya memang sebuah buku, selalu ada teruntuk siapa buku itu dibuat bukan?
Tetapi yang membuat kelayakan itu bertambah, agaknya isi buku itu didedikasikan khusus untuk redaksi ini. “untuk anak muda zaman sekarang, semoga masih ada idealisme”. Itulah  redaksi sakti yang penulis maksud. Kalimat “anak muda” dalam redaksi itu tampaknya sedikit pas bila ditafsirkan sebagai mahasiswa. Lagi pula agak kurang lezat seandainya disematkan kepada masa-masa SMA. Mengapa demikian?
Hemat penulis, idealisme SMA cenderung masih mengkal. Kultur dan style mereka tentang ber”idealis” belum cukup padu. Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi psikologi yang masih labil serta pola fikir yang cenderung belum matang. Relatif memang, tetapi fenomena dan kultur masa SMA adalah tentang menjadi “aku” dan “aku adalah tuhan untuk diriku”.
Lalu bagaimana dengan mahasiswa, inspirasi dari tulisan ini dan interpretasi utuh dari anak muda yang  dipertanyakan di atas. Masih adakah idealisme? Masihkah paham “aku adalah tuhan untuk diriku” dibawa hingga celana abu-abu diganti dengan celana bebas rapi dari senin hingga sabtu?
Sayangnya tidak ada data statistik yang mampu  menjawab secara eksplisit pertanyaan  di atas. Ditambah dengan gerakan-gerakan kultural, gerakan  moral, dan gerakan  intelektual yang awalnya subur di lingkungan akademis kampus seakan cenderung melesu. Gerakan kultural seperti diskusi dibungkam, membaca dibutakan dan menulis dikebiri oleh penghianatan intelektual yang sudah menjadi penyakit dan geokultur siswa yang sudah kadung (baru dan lama) menjadi MAHA.
Agaknya impotensi organisasi mapan sebagai inang dari gerakan kultural, gerakan moral, dan gerakan intelektual sudah kronis. Sedang organisasi alternatif memanfaatkan peluang menggarap lahan yang ditinggalkan oleh organisasi mapan. Pembuktian dari hipotesis ini tampak pada organisasi alternatif yang adaptatif dan dinamis. Fleksibilitas organisasi alternatif membaca kondisi masyarakat menjadi kunci untuk menggerus kedigdayaan organisasi mapan secara sedikit demi sedikit.
Komodifikasi gaya hidup menjadi pemenang dalam kasus ini. hedonisme menjadi gamblers dengan kemenangan terbesar. Lalu mahasiswa? Nilai-nilai murni (pure values) dari ke-mahasiswa-an seakan tergerus oleh nilai-nilai transnasional yang menjadikan globalisasi sebagai kuda troya. Hasilnya yang pasrah semakin pasrah, yang idealis berjuang tanpa identitas.
Pada titik ini, gerakan kultural, gerakan moral, dan gerakan intelektual akan menjadi api unggun yang mencairkan redaksi “maha” dari kebekuan, kata “maha” tidak dijumudkan hingga kehilangan konteks, tidak pula kata “maha” hanya sekedar menjadi pemanis anak bangsa yang masih ingin belajar pasca siswa.
Mahasiswa sebagai underbouw perubahan sudah selayaknya bangun dan tersadar. Segeralah cuci muka untuk mengembalikan seluruh ingatan tentang diri sendiri dan apa yang harus dilakukan dan tidak hanya turut hanyut bersama dengan statisnya kehidupan kampus. Gerakan-gerakan massa memang sudah tidak lagi ngetrend belakangan ini, dan untuk mengisi ruang kosong yang ditinggalkan gerakan massa itu, gerakan kultural, gerakan moral, dan gerakan intelektual menurut hemat penulis masih relevan untuk digunakan.
Sungguhpun pada akhirnya mahasiswa tetap dijatuhkan pada pilihan antara pragmatis atau idealis. Jika dipandang dari sudut yang lebih netral, secara fundamental mahasiswa tidak harus melupakan tentang eksistensi dirinya sebagai agen perubahan dan social control di tengah-tengah masyarakat.

Semoga pembaca tulisan ini (terutama mahasiswa) mulai “ingin” mencari sesuatu sebagaimana faktanya dan apa adanya ketimbang menilai apa yang tampak secara kasat mata, yang benar ketimbang yang salah, dan yang substantif ketimbang artifisial. Siapa tahu idealisme menyembunyikan dirinya di sela-sela tumpukan ikhtiar diri mencari orisinalitas,  hingga klimaksnya pertanyaan “MAHA” kemudian terjawab.

Saturday 9 April 2016

ketika qur'an bercerita

18:51:00 Posted by fathur alrahman
Perkenalkan pembaca, namaku Al-Quran. Anda pasti sudah kenal saya, secara langsung  maupun  tidak  langsung.  Saya mewarnai  dunia  ini sejak abad ke 7 sampai sekarang  ini, dikumandangkan  di seluruh pelosok dunia. Dikenal dari kolong jembatan tol satu Pontianak sampai istana raja Arabia di pegunungan Alpen. Dari Bronx di megapolitan Rio de Janeiro sampai kantor2 elit di Silicon Valley. Dari syukuran kelahiran sampai berkabung atas kematian. Dari lorong2 sempit shantytown  di  Uganda  sampai  di  laptop2  mahasiswa  muslim  di  Eropa.  Aku praktis  ada  dimana2  pembaca,  setiap  detik  jutaan  orang  membacaku. Aku adalah salah satu dari jutaan saudaraku yang menyebar di seluruh dunia.

Minggu yang lalu aku disumbangkan oleh seorang anggota DPR di perpustakaan daerah. Jadi selama seminggu ini aku mendapatkan rumah baru, aku beruntung  sekali, di tempat baru ini temanku  jadi banyak. Di tempat yg lama, aku cuma dipajang saja, gak pernah dibaca. Dulu aku dijadikan mahar perkawinan  anggota  DPR  itu  dengan  istri  pertamanya,  setelah  dia  bercerai karena  istrinya  pertamanya tidak mau dimadu,  aku  diserahkan   ke perpustakaan daerah.

Aku merasa gembira sekali, serasa lepas dari kubangan gelap, tiap hari dulu aku hanya melihat muka2 masam, hubungan rumah tangga yg tidak harmonis, penindasan  atas  hak2  istri,  anak2  yang  tidak  terdidik  dengan  baik.  Begitu datang aku langsung disambut oleh penghuni2 lama disini, yang paling tua di sini dan paling gemuk itu namanya Veda, yang juga cukup tua walau tidak setua Veda ada Tipittaka, ada juga Injil, ada Taurat, ada Upanishad, ada Politica, Ada Republic, ada Divina Comedia, ada Das Kapital, ada banyak sekali teman2ku di sini.  Walaupun  begitu,  aku  tidak  bisa  langsung  dekat  sama  mereka  semua, yang paling dekat selama ini masih Injil, yang sedikit lebih tua dari aku. Aku sering curhat dengannya, dia juga yang selama ini sering melindungiku dari olok2an teman2 dari rak sebelah kiri, terutama Das Kapital yang suka menggangguku.  Tapi  aku  senang  di  tempat  baru  ini,  aku  semakin  dewasa, banyak  yang  kupelajari  dari  teman2  baruku.  Aku  juga  mengangkat  adik, namanya Aqdas, yang terus terang kuakui kadang lebih dewasa daripada aku.

Di  tempat  baru  ini  aku  ditempatkan  bersama  teman2  dari  jenisku,  yang akhirnya aku malah sering diskusi dengan mereka semua. Dari diskusi2 itu aku menjadi  terbuka  akan  warna-warninya dunia  filsafat,  itu  baru  dari  filsafat agama.  Lebih beragam  lagi kalau aku kadang2  mendengarkan  percakapan2 dari teman2 yang berada di rak sebelah kiri. Dari diskusi itu, aku menjadi sering merenung sendiri.

Beberapa hari lalu aku diambil dan dibaca oleh seorang anak kecil, umurnya kira2 14 tahunan, pakaiannya kumal, celananya  robek  disana-sini,  kulitnya hitam diliputi debu. Setelah menengok kanan kiri, dia mengambilku dan segera pergi  ke  meja  dan  membacaku.  Sangat  bahagia  diriku  pembaca  sekalian, setelah sekian lama aku hanya dipajang, akhirnya ada juga yang membacaku. Memang dia  kurang lancar membacaku, tapi  aku bisa  merasakan aura kerinduan yang sangat dari tatap matanya dan desah suaranya saat membacaku. Tapi sayang pembaca, tak berapa lama kemudian petugas perpustakaan mengusirnya, disertai gertakan2 yang memilukan  hatiku.

Tentunya bagi anak itu lebih memilukan lagi, aku melihat air mata menetes di pipinya. Aku sangat sedih sekali.

Para pembaca, terus terang saja, aku kadang iri sama Injil, Veda, Tipittaka, dan yang lain2. Bukannya apa2, tapi jelas semua mengakui bahwa mereka adalah ciptaan  manusia,  jadi kalau salah ya lumrah, lha memang  ciptaan  manusia. Tapi  aku di  rumah  besar  ini  adalah  satu2nya  yang  dianggap  produk  Tuhan, dianggap sebagai kata2 Tuhan, jadi kalau aku salah seperti salahnya aku tidak mengharamkan perbudakan, atau salahnya aku melakukan perhitungan matematika dalam pembagian warisan, berarti yang salah Tuhan dong, karena aku adalah kata2nya Dia. Aku bukan kata2 Muhammad.  Karena Muhammad hanyalah  mediumku.  Injil  memang  banyak  kesalahan  di  dalamnya,  apalagi yang  edisi  Latinnya.  Tetapi  Injil  bisa  berkilah  bahwa  memang  dia  ciptaan manusia,  yang  membuat  adalah  murid2  Yesus.  Veda juga  bisa  selamat  dari tuduhan, karena memang dia ciptaan resi2, jadi kalau salah ya yang salah resi yang membuatnya. Tipittaka juga begitu, Sidharta kan juga manusia biasa, dia pasti bisa salah.

Tapi aku, sekali lagi aku, aku adalah kata2 Tuhan, sungguh pedih hatiku mengingat itu. Aku telah menghina Tuhan, tuhan segala alam. Aku telah digunakan umat untuk menghina tuhan, mengapakah tuhan yang segala maha  itu  hanya  mempunyai  kata2  terbaik  seperti  aku.  Bahasaku  memang indah, diksi2ku memang mumpuni, tapi aku konstekstual, aku ada karena keadaan, aku ada karena Muhammad butuh alat untuk menyadarkan kejahiliahannya  umat.  Muhammad  butuh  dogma  sebagai  alat,  karena  orang bodoh yang celakanya 99% manusia tergolong dalam golongan orang bodoh ini butuh dogma, butuh simbol, butuh balasan atas yang dilakukannya, butuh ancaman dan butuh hadiah.

Muhammad sendiri tidak butuh dogma dan simbol, karena dia manusia sangat pragmatis dan sekaligus futuristik idealis. Muhammad selalu mengingatkan akan bahaya kebodohan atau kejahiliyahan, karena dia tahu benar akan seperti apa umatnya  sepeninggalnya.  Waktu dia mau mati, aku ingat benar bahwa dia berkata “ Umatku..umatku…umatku…”, kekhawatiran  yang tidak berlebihan jika melihat apa yang terjadi  setelah dia meninggal.  Yang  mengantarkan  jenazahnya  hanya  5  orang,  sedangkan  yang lain ribut membicarakan vacuum of  power. Umar dengan lantang akan menebas  leher  siapa  saja  yang  bilang  Muhammad  meninggal,  bibit2  kultus yang justru ada   di kalangan sahabat2 terdekatnya. Belum kejadian2 memalukan  beberapa  lama  setelah  dia  meninggal,  istrinya  Aisyah  perang dengan  menantunya  Ali bin Abi Thalib, cucunya  Hasan dan Husein dipenggal kepalanya oleh orang2 haus kekuasaan, semua sahabat terdekatnya mati terbunuh karena kecemburuan karena kekuasaan.

Hidup lebih dari 14 abad membuatku  menjadi  saksi bisu kenaifan  manusia, terutama  justru  kenaifan  jutaan  pembaca  setiaku.  Yang  sangat  membuatku pedih adalah ucapan Muhammad Abduh sewaktu kembali dari perjalanannya ke Eropa, dia lebih melihat Islam di sana daripada di negeri2 yang selama ini mengaku sebagai negeri Islam. Nilai2 persamaan hak lebih dihormati di negeri yang  sedikit  sekali  orang  yang  bisa  membacaku,  kesejahteraan  rakyat  kecil lebih terjamin di negeri2 itu, di saat korupsi dan komersialisasi diriku dijadikan propaganda politik oleh orang2 yang mengaku Islam yang sering hanya demi kepentingan sesaat semata.

Jika  hidupku  memang  ditakdirkan  untuk  menanggung  beban  ini,  aku  akan menjalaninya  dengan  berat hati. Sebenarnya  lebih  baik aku  tiada  atau  mati saja,  daripada  hidup  menanggung  beban  melecehkan  tuhan.  Daripada  tiap detik  dikumandangkan  di  seluruh  dunia,  tapi  substansi  nilaiku  dibuang  di pojok2 sejarah, sedangkan nilai2 normatifnya saja yang jadi keributan dimana2.

Pembaca  sekalian,  doakan  aku  ya, biar Allah  menguatkan  hatiku  menerima perlakuan makhluk2, menguatkan  aku menghadapi  penghinaan2  filosofis ini. Sudahlah, kurasa sudah cukup aku curhat, yang lain sudah pada tertidur. Weda sudah ngorok kudengar, Injil dan yang lain jg sudah tidak terdengar suaranya. Aku ingin tidur, kalau bisa selamanya, agar penderitaanku ini berakhir, penderitaan  peradaban  yg harus kusandang,  oh malang sekali diriku. Terima kasih pembaca, sudah sudi mendengarkan keluh kesahku.

terima kasih

18:50:00 Posted by fathur alrahman
TERIMA KASIH . . . Mungkin sangat jarang sebuah tulisan dimulai dengan kata itu. Tetapi itulah kata yang layak aku gunakan sebagai rasa syukur kepada Allah yang telah “menunjukkan” dirimu untukku. Buku pemberian darimu telah kubaca SELURUHNYA. Novel pertama dalam sejarah hidupku yang membuat mata ini tak pernah bosan menelusuri huruf demi huruf, kata demi kata hingga halaman demi halaman.
Dari hadiahmu, menyadarkan aku bahwa kemiskinan tidak harus dihadapi dengan rasa takut. Bahwa Tuhan selalu punya rencana. Bahwa Tuhan tidak akan pernah berkedip untuk melihat nasib ummatnya yang hendak berusaha. Buku itu memang seperti candu (A Fuadi). Mampu membawa pembacanya seperti hilang dari lingkungannya selama menelusuri kata demi kata yang dimuat didalamnya. Mampu menarik pembaca ke dalam dimensi yang diredaksikan buku itu.
Seketika. Aku lupa akan sekelilingku saat buku itu ditanganku, aku lupa akan seluk beluk aktifitas manusia yang ada di sekeliling, bahkan aku tidak hiraukan lagu favoritku yang sedang diputar dari laptop ini dan mataku hanya tertuju pada kata demi kata dalam buku itu. Mau bagaimana lagi??? Buku itu sudah mencanduku.
Sungguh. Tokoh itu menginspirasiku. Menyadarkan melalui cerita masa kecil hingga remajanya di kebon dalem, sebuah desa yang kemiskinan bukan hal yang langka untuk ditemukan, anak-anaknya matang menghadapi hidup sebelum dewasa, kisah cinta, hingga makna persahabatan.
Buku itu mengingatkanku tentang sahabatku. Sahabat yang sering kusebutkan namanya di depanmu. Hingga sekarang ia sedang mengumpulkan rupiah demi rupiah. Mencari logam mulia yang terkubur di dalam tanah, memaksa tubuhnya bekerja keras hanya untuk rupiah agar bisa kuliah, tanpa sadar aku mengaguminya, jarang ada manusia seperti itu, ingin meneruskan kuliah dari rupiah hasil keringatnya sendiri. Mencoba melawan kondisi yang tentunya tidak nyaman dialami segelintir orang. Dalam hati sejujurnya ku akui engkau luar biasa kawan.
Tidak sepertiku yang meminta dan meminta. Betapa lupanya aku akan mereka yang rambutnya mulai memutih, kulitnya mulai mengerut. Sebuah takdir yang tidak bisa dielakkan dengan apapun. Terlebih lagi setelah adikku tidak lagi bersama mereka, diapun sedang merintis pendidikannya di salah satu universitas ternama di kota ini, sering terbayang pula tentang kesendirian mereka hari ini. Ketika aku telah kenakan toga itu, akulah yang akan mengisi hari-hari mereka lagi.
Semoga saja apa yang sering dikatakan orang tentang “tidak ada kata terlambat” itu benar adanya. Hanya semangat yang dahulu tercerai berai yang harus segera ku kumpulkan lagi. Mengingatnya membuat semangatku seketika bangkit kembali. Yakinlah aku berada di jalan yang benar. Aku sedang berada di jalur yang engkau dan seluruh alam semesta harapkan dariku. Akupun tak kerasan selalu berada dalam posisi seperti ini. Aku tak akan mati sebelum ku kenakan toga itu, aku yakin Tuhan pun cukup bijaksana tidak memerintahkan izrail untuk mencabut nyawaku, mengingat aku belum “menabung” sebiji pahalapun.
Hahahahaha . . . mendadak hati tergelitik. “sebiji pahala ???” apa Tuhan mau terima transaksiku dengan kata itu? Selayaknya bertransaksi dengan Tuhan harus dengan sesuatu yang lebih dari barang berharga yang ada di dunia ini. Atau mungkin sesuatu yang lebih berharga dari emas, berlian, intan, dan minyak, atau entahlah . . .
Ah . . . sudahlah. Semoga saja “sebiji pahala” mampu mewakili kegalauan hati ini. Semoga saja dengan “sebiji pahala” Tuhan memenjarakan Izrail sementara waktu untuk “membunuhku”.
Walau hanya beberapa paragraph, kurasa urusanku dengan Tuhan untuk sementara sampai disini. Senin ini aku harus berurusan dengan tuhan-tuhan di kampus dan para malaikat-malaikatnya. Semoga mereka mau menerimaku sebagai hambanya. Tapi pastilah mereka akan menerimaku. Mengingat syahadatku kepada mereka berupa semesteran yang setiap 6 bulan sekali harus dibayar telah ku tunaikan. Hal itu sudah cukup untuk menunjukkan eksistensiku dan hamba-hamba yang lain sebagai hambanya.
Rasa malu tentu tidak dapat dibuang dari wajah ini nanti ketika “menyembahnya” di ruang kelas. Ketika ketaatan menjadi barang tertawaan di singgasananya, ummatku yang satu ini amat sangat taat menyembahku. Dalam hatinya tertawa. Ummat yang lain mungkin berkata dalam hatinya, saudara seiman ini sudah berapa semester menyembah tuhan ini? Dalam hatinya tertawa. Sungguh memalukan.
Tetapi aku bukan Fathur jika hanya berhenti disaat rel yang membentang masih tersisa ribuan kilo jaraknya. Aku bukan Fathur jika karam mendayung sampan ditengah Melawi yang kemarau. Aku bukan Fathur bila malu bertemu tuhan hanya karena aku belum menunaikan tugas-tugas yang mereka beri. Karena bagiku, rasa malu kepada mereka tidak sebanding dengan keringat orang tuaku.
Aku memang belum miliki segalanya dalam beranda seorang pria. Masih dengan gampangnya menyedekahkan waktu untuk hidup yang sia-sia, dan ternyata yang harus manusia sadari bahwa rasa bosan terhadap yang sering Syahrini bilang “sesuatu” ternyata lebih baik dari pada tercandu akan sesuatu. Rasa bosan menjadi hamba tuhan di kampus kian hari semakin radikal, makin terasa besar dari dada ini ingin murtad dari ajaran mereka, tapi ya Allah . . . tolong pulangkan aku pada waktu itu  SEKALI SAJA . . . atau kutukar dengan apapun yang aku punya asal engkau kembalikan aku pada waktu itu.
Dan (menangis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .)