Paradigma pendidikan menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya,
pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan
dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses
pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya.
Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya
ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan
prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia
kerja dan di masyarakat pada umumnya, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan
bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi
yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal
sistem persekolahan.
Tulisan ini dibuat ketika hari dimana
output pendidikan setingkat SMA berhasil tercipta. Setelah 12 tahun belajar dan
duduk di bangku sekolah pada akhirnya mereka tiba di gerbang keluar proses
pembelajaran formal. Namun, yang menjadi pertanyaan kita bersama hari ini dan
kemudian hari adalah bagaimanakah hasil dari pendidikan yang telah mereka
jalani selama 12 tahun itu? Seperti apa model “makhluk” yang dihasilkan oleh
sistem pendidikan yang hingga sekarang masih menciptakan mental “kuli” dan
“babu” hari ini?
Ketika seseorang berniat melanjutkan
pendidikan di perguruan tinggi ada banyak faktor yang melatarbelakangi hal
tersebut. Mungkin saja dia tergerak hatinya menempuh studi di perguruan tinggi
semata-mata untuk menambah pengetahuan dan keterampilannya untuk bekalnya
meniti kehidupan di masyarakat kelak, atau hanya menuruti kehendak orang tua
atau bahkan hanya untuk mendapatkan gelar, dalam proses pembelajaran inilah
cita-cita masa kecil kita akan disepak, ditendang, diterajang, dan
dibumihanguskan di arena perkuliahan. mau tidak mau dan suka tidak suka, anda
akan merasakan betapa beratnya menjadi seorang “agent of change” dan seiring
perjalanan waktu, rasa jenuh, bosan, capek, letih, akan dunia kampus akan
menghinggapi anda. tentu saja efeknya ingin menyelesaikan studi secepat mungkin
dan dengan cara apapun. salah satunya “membeli skripsi”.
Apalah jadinya bila mahasiswa indonesia
melakukan hal seperti itu. sungguh sebuah idikator kegagalan proses
pembelajarannya di kampus. namun, ini tidak melulu merupakan kesalahan anda
sendiri, beberapa faktor yang mungkin menyebabkan anda harus melakukan hal
seperti itu. misalnya desakan orang tua, pekerjaan, atau mungkin desakan dari
pihak luar.
Bila hal ini terjadi, indikasinya
penyakit gelarisme telah menjangkiti sebagian besar mahasiswa kita. penyakit
yang sekarang sedang mewabah dikalangan mahasiswa. penyakit baru yang belum
terdaftar pada ilmu kedokteran. kenapa? karena penyakit ini menyerang ideologi
mahasiswa. tanpa anda sadari, cita-cita masa kecil anda yang telah diandaikan
sejak dulu bergeser sedikit demi sedikit. cita-cita yang humanis mulai berganti
menjadi hasrat individu, ironis memang. Tapi begitulah faktanya.
Salah satu problem pendidikan nasional
adalah tidak adanya orientasi untuk kemandirian para insan akademis. Faktor
kemandirian masih belum menjadi orientasi, sehingga output pendidikan kita
banyak yang bermental terjajah. Menurut pandangan Romo Mangunwijaya, pendidikan
kita hanya mencetak manusia-manusia bermental “kuli” dan “babu”. Maksudnya,
pendidikan kita hanya menciptakan manusia-manusia yang kecanduan atau
ketergantungan kepada pihak lain, tidak mampu mandiri. Padahal mental-mental
seperti itu (kuli dan babu) adalah peninggalan kolonial belanda. Sama artinya
dengan pendidikan kita belum mampu berperan sebagai proses pembebasan.
Selain itu ada faktor yang tidak kalah
penting yang mengakibatkan pengangguran intelektual semakin meraja lela adalah
sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Hal ini disebabkan krisis
yang melanda Indonesia 14 tahun lalu yang hingga sekarang pun kita masih belum
mampu keluar dari krisis yang semakin dinamis merasuki sendi-sendi kehidupan
masyarakat kita. Mau tidak mau dan suka tidak suka insan-insan akademis yang
telah berhasil menamatkan pendidikannya di salah satu perguruan tinggi
kebanyakan dirasuki kebingungan untuk melangkah. Ada beberapa dari mereka yang
demi mengurangi pengangguran intelektual bekerja tidak pada bidang yang
dipelajarinya ketika duduk di bangku kuliah, hal ini sedikit banyak adalah buah
dari sistem pendidikan di Indonesia.
Bila berbicara tentang pengangguran
intelektual, tentu tidak bisa terlepas dari sesosok sarjana-sarjana yang tidak
atau belum bekerja yang tentunya sebagai objek dari pengangguran intelektual
itu. Meminjam pengertian dari Akhmad Surajat, Sarjana adalah gelar akademik yang diberikan
kepada lulusan program pendidikan sarjana (S-1). Untuk memperoleh gelar
sarjana, secara normatif dibutuhkan waktu perkuliahan selama 4-6 tahun
atau telah menempuh perkuliahan dengan jumlah SKS sebanyak 140-160. Jika seseorang
sudah dinyatakan lulus oleh sebuah perguruan tinggi, maka dia berhak menyandang
gelar sarjana.
Bila menilik dari pengertian diatas,
tidak mudah memang untuk menjadi seorang sarjana, selain mengorbankan materi
yang tidak sedikit, waktu juga harus turut dikorbankan. Dengan demikian kiranya
cukup terang, sesungguhnya sarjana bukanlah orang sembarangan dan bukan
sembarangan orang. Kepadanya dituntut untuk tersedia kapasitas kognitif tingkat
tinggi serta memiliki tanggung jawab yang tidak hanya pada dirinya dan
lingkungan dimana dia berada, tetapi juga memikul tanggung jawab yang hakiki
yaitu kepada Sang Khalik.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 8
Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, sarjana
(S1) dikategorikan sebagai jabatan teknisi atau analis (bukan
dikategorikan sebagai ahli) yang berada pada level (jenjang) 6
(enam), dengan gambaran kualifikasi, sebagai berikut: Pertama,
mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan IPTEKS pada bidangnya
dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang
dihadapi.Kedua, menguasai konsep teoritis
bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam
bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan
penyelesaian masalah prosedural. Ketiga, mampu mengambil keputusan yang tepat
berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam
memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok. Terakhir,
bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas
pencapaian hasil kerja organisasi.
Tetapi terlepas dari hal diatas,
kepentingan pasar kerja adalah membutuhkan tenaga yang berkualitas. Terlepas
dari seperti apa bentuknya dan dari mana asalnya selama dia berkualitas dan
memiliki royaitas terhadap bidang pekerjaan tertentu maka dunia kerja akan
selalu membuka tangan kepadanya, bagi yang tidak memiliki kualitas dan
royalitas maka mereka-mereka inilah yang menjadi pengangguran intelektual.
Paradigma pendidikan kita sebenarnya
perlu diorientasikan kepada kemandirian. Artinya, setiap insan akademik baik
pelajar maupun mahasiswa harus diajarkan untuk mandiri, pendidikan seyogyanya
tidak harus diarahkan kepada paradigma ketergantungan yang pada akhirnya hanya
akan menambah kuantitas manusia Indonesia yang bermental kuli dan babu. Tetapi
diarahkan untuk membentuk karakter manusia berdasaran kompetensi yang
dimilikinya tanpa adanya ketergantungan dengan pihak lain.
Seyogyanya, paradigma pendidikan tidak
membimbing dan mengarahkan para insan akademik untuk terikat dengan sistem.
Pendidikan harus mampu menggali potensi insan-insan akademis untuk berkembang
tanpa harus terikat dengan sistem. Misalnya saja, mempelajari tentang ekonomi,
politik, jurnalistik, budaya dan sebagainya kesemuanya itu akan menjadi
bekalnya di kemudian hari. Bahkan bisa menjadi sebuah langkah antisipasi jika
saja peluang kerja tidak diperoleh.
Ia bisa saja menjadi
seorang jurnalis, pengusaha, politisi, atau bahkan menjadi budayawan. Atau
bahkan insan akademis tadi bisa membuka peluang usaha sendiri, yang demikian
adalah manifestasi dari insan intelektual yang memiliki mental mampu hidup
mandiri, tidak bermentalkan “kuli” atau “babu”. Dengan begitu insan akademis
bisa mandiri dimanapun bumi yang ia pijak dan langit yang ia junjung.