hanya sekedar coretan di layar desktopmu

Monday 4 April 2016

pendidikan sebagai pabrik pengangguran intelektual

21:14:00 Posted by fathur alrahman
Paradigma pendidikan menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.
Tulisan ini dibuat ketika hari dimana output pendidikan setingkat SMA berhasil tercipta. Setelah 12 tahun belajar dan duduk di bangku sekolah pada akhirnya mereka tiba di gerbang keluar proses pembelajaran formal. Namun, yang menjadi pertanyaan kita bersama hari ini dan kemudian hari adalah bagaimanakah hasil dari pendidikan yang telah mereka jalani selama 12 tahun itu? Seperti apa model “makhluk” yang dihasilkan oleh sistem pendidikan yang hingga sekarang masih menciptakan mental “kuli” dan “babu” hari ini?
Ketika seseorang berniat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi ada banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Mungkin saja dia tergerak hatinya menempuh studi di perguruan tinggi semata-mata untuk menambah pengetahuan dan keterampilannya untuk bekalnya meniti kehidupan di masyarakat kelak, atau hanya menuruti kehendak orang tua atau bahkan hanya untuk mendapatkan gelar, dalam proses pembelajaran inilah cita-cita masa kecil kita akan disepak, ditendang, diterajang, dan dibumihanguskan di arena perkuliahan. mau tidak mau dan suka tidak suka, anda akan merasakan betapa beratnya menjadi seorang “agent of change” dan seiring perjalanan waktu, rasa jenuh, bosan, capek, letih, akan dunia kampus akan menghinggapi anda. tentu saja efeknya ingin menyelesaikan studi secepat mungkin dan dengan cara apapun. salah satunya “membeli skripsi”.
Apalah jadinya bila mahasiswa indonesia melakukan hal seperti itu. sungguh sebuah idikator kegagalan proses pembelajarannya di kampus. namun, ini tidak melulu merupakan kesalahan anda sendiri, beberapa faktor yang mungkin menyebabkan anda harus melakukan hal seperti itu. misalnya desakan orang tua, pekerjaan, atau mungkin desakan dari pihak luar.
Bila hal ini terjadi, indikasinya penyakit gelarisme telah menjangkiti sebagian besar mahasiswa kita. penyakit yang sekarang sedang mewabah dikalangan mahasiswa. penyakit baru yang belum terdaftar pada ilmu kedokteran. kenapa? karena penyakit ini menyerang ideologi mahasiswa. tanpa anda sadari, cita-cita masa kecil anda yang telah diandaikan sejak dulu bergeser sedikit demi sedikit. cita-cita yang humanis mulai berganti menjadi hasrat individu, ironis memang. Tapi begitulah faktanya.
Salah satu problem pendidikan nasional adalah tidak adanya orientasi untuk kemandirian para insan akademis. Faktor kemandirian masih belum menjadi orientasi, sehingga output pendidikan kita banyak yang bermental terjajah. Menurut pandangan Romo Mangunwijaya, pendidikan kita hanya mencetak manusia-manusia bermental “kuli” dan “babu”. Maksudnya, pendidikan kita hanya menciptakan manusia-manusia yang kecanduan atau ketergantungan kepada pihak lain, tidak mampu mandiri. Padahal mental-mental seperti itu (kuli dan babu) adalah peninggalan kolonial belanda. Sama artinya dengan pendidikan kita belum mampu berperan sebagai proses pembebasan.
Selain itu ada faktor yang tidak kalah penting yang mengakibatkan pengangguran intelektual semakin meraja lela adalah sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia.  Hal ini disebabkan krisis yang melanda Indonesia 14 tahun lalu yang hingga sekarang pun kita masih belum mampu keluar dari krisis yang semakin dinamis merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat kita. Mau tidak mau dan suka tidak suka insan-insan akademis yang telah berhasil menamatkan pendidikannya di salah satu perguruan tinggi kebanyakan dirasuki kebingungan untuk melangkah. Ada beberapa dari mereka yang demi mengurangi pengangguran intelektual bekerja tidak pada bidang yang dipelajarinya ketika duduk di bangku kuliah, hal ini sedikit banyak adalah buah dari sistem pendidikan di Indonesia.
Bila berbicara tentang pengangguran intelektual, tentu tidak bisa terlepas dari sesosok sarjana-sarjana yang tidak atau belum bekerja yang tentunya sebagai objek dari pengangguran intelektual itu. Meminjam pengertian dari Akhmad Surajat, Sarjana adalah gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikan sarjana (S-1).  Untuk memperoleh gelar sarjana, secara normatif dibutuhkan waktu perkuliahan selama  4-6 tahun atau telah menempuh perkuliahan dengan jumlah SKS sebanyak 140-160. Jika seseorang sudah dinyatakan lulus oleh sebuah perguruan tinggi, maka dia berhak menyandang gelar sarjana.
Bila menilik dari pengertian diatas, tidak mudah memang untuk menjadi seorang sarjana, selain mengorbankan materi yang tidak sedikit, waktu juga harus turut dikorbankan. Dengan demikian kiranya cukup terang, sesungguhnya  sarjana bukanlah orang sembarangan dan bukan sembarangan orang. Kepadanya dituntut untuk tersedia kapasitas kognitif tingkat tinggi serta memiliki tanggung jawab yang tidak hanya pada dirinya dan lingkungan dimana dia berada, tetapi juga memikul tanggung jawab yang hakiki yaitu kepada Sang Khalik.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 Tentang  Kerangka Kualifikasi  Nasional Indonesia, sarjana (S1) dikategorikan sebagai  jabatan teknisi atau analis (bukan dikategorikan sebagai ahli)  yang berada pada  level (jenjang) 6 (enam), dengan gambaran kualifikasi, sebagai berikut: Pertama, mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan IPTEKS pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi.Kedua, menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural. Ketiga, mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok. Terakhir, bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi.
Tetapi terlepas dari hal diatas, kepentingan pasar kerja adalah membutuhkan tenaga yang berkualitas. Terlepas dari seperti apa bentuknya dan dari mana asalnya selama dia berkualitas dan memiliki royaitas terhadap bidang pekerjaan tertentu maka dunia kerja akan selalu membuka tangan kepadanya, bagi yang tidak memiliki kualitas dan royalitas maka mereka-mereka inilah yang menjadi pengangguran intelektual.
Paradigma pendidikan kita sebenarnya perlu diorientasikan kepada kemandirian. Artinya, setiap insan akademik baik pelajar maupun mahasiswa harus diajarkan untuk mandiri, pendidikan seyogyanya tidak harus diarahkan kepada paradigma ketergantungan yang pada akhirnya hanya akan menambah kuantitas manusia Indonesia yang bermental kuli dan babu. Tetapi diarahkan untuk membentuk karakter manusia berdasaran kompetensi yang dimilikinya tanpa adanya ketergantungan dengan pihak lain.
Seyogyanya, paradigma pendidikan tidak membimbing dan mengarahkan para insan akademik untuk terikat dengan sistem. Pendidikan harus mampu menggali potensi insan-insan akademis untuk berkembang tanpa harus terikat dengan sistem. Misalnya saja, mempelajari tentang ekonomi, politik, jurnalistik, budaya dan sebagainya kesemuanya itu akan menjadi bekalnya di kemudian hari. Bahkan bisa menjadi sebuah langkah antisipasi jika saja peluang kerja tidak diperoleh.
Ia bisa saja menjadi seorang jurnalis, pengusaha, politisi, atau bahkan menjadi budayawan. Atau bahkan insan akademis tadi bisa membuka peluang usaha sendiri, yang demikian adalah manifestasi dari insan intelektual yang memiliki mental mampu hidup mandiri, tidak bermentalkan “kuli” atau “babu”. Dengan begitu insan akademis bisa mandiri dimanapun bumi yang ia pijak dan langit yang ia junjung.