hanya sekedar coretan di layar desktopmu

Monday 4 April 2016

pemuda indonesia. pelopor atau pengekor?

21:12:00 Posted by fathur alrahman
Generasi muda adalah penerus masa depan, generasi muda juga adalah cermin suatu bangsa. Melihat fenomena ini tak heran banyak harapan yang kemudian digantungkan kepada kelomok generasi muda, mengintip sekilas sejarah pemuda Indonesia masa lalu yang memiliki orientasi perjuangan tersendiri dalam proses gerakan perjuangan bangsa Indonesia menuju gerbang kemerdekaan, serta dituliskan sebagai tinta emas untuk pemuda Indonesia dan menjadi sejarah bangsa. Menapaki tahun 2007, aura globalisasi dunia mulai berimbas ke Asia, dalam hal ini Indonesia tidak luput darinya. Arus-arus invasi global ini menyibak kehidupan budaya masyarakatnya. Dengan hadirnya globalisasi, dunia seakan-akan berada di sebuah kampung global. Mau tidak mau dan suka tidak suka, mayoritas penduduk Indonesia yang bersifat homogen harus menerima globalisasi, ditambah lagi pemerintah yang pada beberapa dekade lalu telah membuka diri terhadap arus globaliasi ini.
Dewasa ini, perkembangan sosial kemasyarakatan di Indonesia mendapat tantangan yang cukup berat akibat adanya modernisasi. Wacana ini memang sudah terlampau basi untuk dibahas, tetapi selalu urgen untuk dibicarakan. Format realitas ini pada dasarnya merupakan format jagka panjang yang akan membenamkan semangat patriotisme, idealisme dan menimbulkan emosi jiwa yang terlampau melangkahi batas kewajaran dari para generasi muda kita dewasa ini. Generasi-generasi muda Indonesia rentan terkontaminasi serbuan-serbuan nilai-nilai budaya sinkretis baru. Sekarang sedang hangat dan merebak adalah Korean pop atau lebih dikenal dengan istilah K-pop. Fenomena ini menjadi gaya hidup (life style) di kalangan gengerasi muda kita dewasa ini. Mungkin saja hal ini dikarenakan sistem kehidupan masyarakat kita yang cenderung mudah berubah yang pada kenyataannya mengakibatkan perubahan gaya hidup ke arah pragmatisme, ignorance, disorientasi, hingga mengakibakan hal-hal yang bersifat destruktif.
Dikarenakan mengguritanya fenomena tersebut, pemuda pemudi kita berlomba mengekor keberhasilan yang telah dicapai beberapa boy band dan girl band asal korea yang menjadi kiblat K-pop. Dengan dalih terinspirasi, mulai dari cara berbusana, tata rias, hingga irama lagu “terinspirasi” dari boy band dan girl band yang dibuntutinya. Mari kita berfikir sejenak sembari menanyakan kepada para pemuda dan pemudi kita tentang idealisme yang telah mengakar rumput sepanjang sejarah bangsa. Apakah semakin menebal atau malah mulai tererosi oleh modernisme yang mengadopsi budaya sinkretis? Pertanyaan besar untuk kita generasi muda Indonesia. Kata Latah dan ikut-ikutan mungkin sedikit pas untuk mengganti kata meniru atau menjiplak. Masyarakat kita selalu disuguhkan hal yang sama berkali-kali, jika ada salah satu trend yang bermunculan lalu kemudian disaukai banyak orang maka ramai-ramai yang “mirip” pun akan banyak bermunculan bak jamur di musim hujan. Entah itu acara televisi, aliran musik, film, produk, gaya berpakaian dan sebagainya.
Seharusnya generasi muda Indonesia berada di garda terdepan untuk menawarkan berbagai macam hal yang berbau kreatifitas untuk menjawab tantangan zaman, serta tidak hanya menyerap budaya budaya luar dan kemudian mengabadikan rentetan panjang budaya latah yang telah mengontaminasi berbagai segi fenomena kemasyarakatan. Hal ini mengkrisiskan kreatifitas di kalangan pengekor K-pop yang tak lain adalah boy band dan girl band dari Indonesia.  Meminjam istilah dari Dr. Syarif, “Generasi muda Indonesia hari ini seperti mengonsumsi muntahan bakso yang sudah dikunyah oleh orang korea”. Ada benarnya istilah diatas yang menganalogikan betapa miskin dan menjijikkannya boy band dan girl band ala Indonesia dari kreatifitas.
Menurut hemat penulis, efek domino dari pengkerdilan kreatifitas ini tidak hanya mengontaminasi dalam sekup generasi muda saja. Lihat saja anak-anak kecil yang dengan lancarnya mampu mendendangkan single-single terbaru dari boy band dan girl band yang diidolakannya. Lagu balonku sudah kalah pamor dibandingkan lagu cinta yang seharusnya belum masanya untuk mereka konsumsi. Tanpa kita sadari, hal inilah yang “memaksa” anak-anak bangsa matang sebelum waktunya.
Atau mungkin Karena selera musik remaja Indonesia yang bisa dikatakan terus mengalami kemunduran. Mereka lebih memilih mengidolakan boy band dan girl band yang hanya bermodalkan tampang ganteng dan cantik serta lipsing di acaca televisi ketimbang mengidolakan penyanyi-penyanyi lain yang jelas memiliki kualitas mumpuni. Bahkan tak jarang kita lihat remaja-remaja putri sampai menangis sejadi-jadinya hanya karena tidak bisa melihat boy band idolanya yang toh nantinya ketika mati jasad mereka habis dimakan cacing juga. Entah apa yang mereka pikirkan.
Di era modern ini kemasan penyajianlah yang lebih menentukan bukan hanya kemmpuan olah fokal saja, tetapi juga dibarengi dengan wajah ganteng dan cantik ditambah koreografi yang energik. Jika kita bisa mengolah tren lebih baik kita akan selalu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Terlepas dari hal diatas, kemerdekaan untuk mengidolakan apapun dan siapapun tidak akan penulis kurung dalam tulisan ini. Para konsumen hiburan bebas untuk mengidolakan apapun atau siapapun dan dalam bentuk apapun juga. Karena hakikat manusia adalah merdeka bahkan saat ia lahir, yang perlu dia tanggung saat pertama kali menghirup udara dunia hanya dua hal. pertama adalah dosa yang kelak sengaja atau tidak ia kerjakan dan hutang Negara yang sejak lahir sudah diembannya. Sesungguhnya grup-grup musik lokal itu berprospek cerah jika saja bisa dikemas dengan kemamuan dan kesan yang berbeda dari grup-grup asal korea dan lebih mengIndonesia, dengan cara cukup menampilkan identitas yang berbeda sehingga kata-kata terinspirasi tidak disalahgunakan dan menjadi pembesaran.