Generasi muda adalah penerus masa depan, generasi muda juga
adalah cermin suatu bangsa. Melihat fenomena ini tak heran banyak harapan yang
kemudian digantungkan kepada kelomok generasi muda, mengintip sekilas sejarah
pemuda Indonesia masa lalu yang memiliki orientasi perjuangan tersendiri dalam
proses gerakan perjuangan bangsa Indonesia menuju gerbang kemerdekaan, serta
dituliskan sebagai tinta emas untuk pemuda Indonesia dan menjadi sejarah
bangsa. Menapaki tahun 2007, aura globalisasi dunia mulai berimbas ke Asia,
dalam hal ini Indonesia tidak luput darinya. Arus-arus invasi global ini
menyibak kehidupan budaya masyarakatnya. Dengan hadirnya globalisasi, dunia
seakan-akan berada di sebuah kampung global. Mau tidak mau dan suka tidak suka,
mayoritas penduduk Indonesia yang bersifat homogen harus menerima globalisasi,
ditambah lagi pemerintah yang pada beberapa dekade lalu telah membuka diri
terhadap arus globaliasi ini.
Dewasa ini, perkembangan sosial kemasyarakatan di Indonesia
mendapat tantangan yang cukup berat akibat adanya modernisasi. Wacana ini
memang sudah terlampau basi untuk dibahas, tetapi selalu urgen untuk
dibicarakan. Format realitas ini pada dasarnya merupakan format jagka panjang
yang akan membenamkan semangat patriotisme, idealisme dan menimbulkan emosi
jiwa yang terlampau melangkahi batas kewajaran dari para generasi muda kita
dewasa ini. Generasi-generasi muda Indonesia rentan terkontaminasi
serbuan-serbuan nilai-nilai budaya sinkretis baru. Sekarang sedang hangat dan
merebak adalah Korean pop atau lebih dikenal dengan istilah K-pop. Fenomena ini
menjadi gaya hidup (life style) di kalangan gengerasi muda kita dewasa ini.
Mungkin saja hal ini dikarenakan sistem kehidupan masyarakat kita yang
cenderung mudah berubah yang pada kenyataannya mengakibatkan perubahan gaya
hidup ke arah pragmatisme, ignorance, disorientasi, hingga mengakibakan hal-hal
yang bersifat destruktif.
Dikarenakan mengguritanya fenomena tersebut, pemuda pemudi
kita berlomba mengekor keberhasilan yang telah dicapai beberapa boy band dan
girl band asal korea yang menjadi kiblat K-pop. Dengan dalih terinspirasi,
mulai dari cara berbusana, tata rias, hingga irama lagu “terinspirasi” dari boy
band dan girl band yang dibuntutinya. Mari kita berfikir sejenak sembari
menanyakan kepada para pemuda dan pemudi kita tentang idealisme yang telah
mengakar rumput sepanjang sejarah bangsa. Apakah semakin menebal atau malah
mulai tererosi oleh modernisme yang mengadopsi budaya sinkretis? Pertanyaan
besar untuk kita generasi muda Indonesia. Kata Latah dan ikut-ikutan mungkin
sedikit pas untuk mengganti kata meniru atau menjiplak. Masyarakat kita selalu
disuguhkan hal yang sama berkali-kali, jika ada salah satu trend yang
bermunculan lalu kemudian disaukai banyak orang maka ramai-ramai yang “mirip”
pun akan banyak bermunculan bak jamur di musim hujan. Entah itu acara televisi,
aliran musik, film, produk, gaya berpakaian dan sebagainya.
Seharusnya generasi muda Indonesia berada di garda terdepan
untuk menawarkan berbagai macam hal yang berbau kreatifitas untuk menjawab
tantangan zaman, serta tidak hanya menyerap budaya budaya luar dan kemudian
mengabadikan rentetan panjang budaya latah yang telah mengontaminasi berbagai
segi fenomena kemasyarakatan. Hal ini mengkrisiskan kreatifitas di kalangan
pengekor K-pop yang tak lain adalah boy band dan girl band dari
Indonesia. Meminjam istilah dari Dr. Syarif, “Generasi muda Indonesia
hari ini seperti mengonsumsi muntahan bakso yang sudah dikunyah oleh orang
korea”. Ada benarnya istilah diatas yang menganalogikan betapa miskin dan
menjijikkannya boy band dan girl band ala Indonesia dari kreatifitas.
Menurut hemat penulis, efek domino dari pengkerdilan
kreatifitas ini tidak hanya mengontaminasi dalam sekup generasi muda saja.
Lihat saja anak-anak kecil yang dengan lancarnya mampu mendendangkan
single-single terbaru dari boy band dan girl band yang diidolakannya. Lagu
balonku sudah kalah pamor dibandingkan lagu cinta yang seharusnya belum masanya
untuk mereka konsumsi. Tanpa kita sadari, hal inilah yang “memaksa” anak-anak
bangsa matang sebelum waktunya.
Atau mungkin Karena selera musik remaja Indonesia yang bisa
dikatakan terus mengalami kemunduran. Mereka lebih memilih mengidolakan boy
band dan girl band yang hanya bermodalkan tampang ganteng dan cantik serta
lipsing di acaca televisi ketimbang mengidolakan penyanyi-penyanyi lain yang
jelas memiliki kualitas mumpuni. Bahkan tak jarang kita lihat remaja-remaja
putri sampai menangis sejadi-jadinya hanya karena tidak bisa melihat boy band
idolanya yang toh nantinya ketika mati jasad mereka habis dimakan cacing juga.
Entah apa yang mereka pikirkan.
Di era modern ini kemasan penyajianlah yang lebih menentukan
bukan hanya kemmpuan olah fokal saja, tetapi juga dibarengi dengan wajah
ganteng dan cantik ditambah koreografi yang energik. Jika kita bisa mengolah
tren lebih baik kita akan selalu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Terlepas
dari hal diatas, kemerdekaan untuk mengidolakan apapun dan siapapun tidak akan
penulis kurung dalam tulisan ini. Para konsumen hiburan bebas untuk
mengidolakan apapun atau siapapun dan dalam bentuk apapun juga. Karena hakikat
manusia adalah merdeka bahkan saat ia lahir, yang perlu dia tanggung saat
pertama kali menghirup udara dunia hanya dua hal. pertama adalah dosa yang
kelak sengaja atau tidak ia kerjakan dan hutang Negara yang sejak lahir sudah
diembannya. Sesungguhnya grup-grup musik lokal itu berprospek cerah jika saja
bisa dikemas dengan kemamuan dan kesan yang berbeda dari grup-grup asal korea
dan lebih mengIndonesia, dengan cara cukup menampilkan identitas yang berbeda
sehingga kata-kata terinspirasi tidak disalahgunakan dan menjadi pembesaran.